Sejarah Masuknya Islam ke Karawang
by Oekar Luth
Tweet |
Jalur perdagangan dan penyebaran dari pusat pemerintahan Islam di Damaskus dan
Baghdad kenusantara dalam garis besarnya ada dua, yaitu : melalui daratan Tiongkok ketimur tengah yang disebut "
jalur sutra" dan
melalui perlak di Aceh terus berlayar melalui Lautan India ke Gujarat dan Teluk
Persia.
Sejak tahun 671 M, Kerajaan Melayu Tua dan Sriwijaya telah mengorganisir
perdagangan rempah-rempah dan dengan menggunakan kapal dagang yang bertolak dari
pelabuhan Muara sabak, dekat sungai Batanghari. Route pertama yang dipergunakan
selama hampir seratus tahun adlah tetap yaitu Muara sabak, kapal pengangkut
rempah-rempah melalui Cina selatan dan berhenti dulu di Cempa.Dari sini kapal
berlabuh di Canton Tiongkok, kemudian barang dagangan ini diangkut oleh
rombongan para pedagang yang menggunakan unta, lewat jalan darat langsung menuju
Damaskus Syiria.
Pada tahun 715 M,Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari Dinasti Umayah,
menemukan jalur perdagangan yang baru yang lebih menguntungan yaitu melalui
Teluk persia terus keGujarat India, ke Perlak di Aceh, kemudian,kemudian
langsung ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk meningkatkan perdagangan dan penyebaran
agama Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz Tahun 718 M, mengirim misi diplomatik
ke Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Kalangga di Japara, sehingga perdagangan
semakin menguntungkan dan Kota Damaskus menjadi kota perdagangan di Dunia. Namun
tidak digunakan "jalur sutra" tentu sangat merugian
Tiongkok, sihingga sehingga Kaisar dari Dinasti Tang yang memerintah abad VII-IXmelakukan
penyerangan terhadap kerajaan Sriwijaya dan Raja Sirndrawarman yang telah
memeluk agama Islam tewas terbunuh .
Kerenggangan diplomatik dengan pihak Tiongkok dapat dipulihkan kembali oleh
Khalifah Harun Al Rasyid yang memerintah tahun 786-809 M, sehingga bukan saja
melancarkan hubungan dagang, akan tetapi juga dalam penyebaran Agama Islam. Hal
ini ditndai dengan bertambahnya Islam disumatra dan Malaka.seperti kesultanan
Daya Pasai, Bandar Kapilah, Muara Malaya, Aru Baruman, dan kesultanan kuntu
kampa. Perdagangan yang melalui dua jalur tadi membawa kestabilan dan
pemerintahan Kesultanan Islam di Sumatra dan Malaka dan penyebaran agama Islam
antara Abad VII-XV makin meluas ke kota kota pelabuhan di pulau Jawa. Pada
Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana Haji Sampo
Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 63 buah Kapal dengan
prajurit yang berjumlah hampir 25 000 orang untuk menjalin persahabatan dengan
kesultanan yang beragama Islam. Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu rupanya
didikut sertaan Syeh Hasanuddin dari Campa untuk mengajar Agama Islam
dikesultanan Malaka, Sebab Syeh Hasanuddin adalah putra Ulama besar
Perguruan Islam di Campa yang bernama Syeh Yusuf Siddik yang masih ada garis
keturunan dengan Syeh Jamaluddin serta Syeh Jalaluddin Ulama besar Mekah. Bahkan
menurut sumber lain garisketurunannya sampai kepada Syaidina Husein bin Syaidina
Ali ra, menantu Rosulullah saw. Adapun pasukan angkatan laut Tiongkok
pimpinan Laksaman Sam Po Bo lainnya ditugaskan mengadakan hubungan persahabatan
dengan KI Gede Tapa Syah Bandar Muara Jati Cirebon serta sebagai wujud kerjasama
itu dibangunlah sebuah menara dipantai pelabuhan Muara Jati.
Kegiatan penyebaran Agama Islam oleh Syeh Hasanuddin rupanya sangat mencemaskan
penguasa Pajajran yang bernama Prabu Angga Larang, Sehingga dimintanya agar
penyebaran tersebut dihentikan. Oleh Syeh Hasanuddin perintah itu dipatuhi.
Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa meskipun Dakhwah itu
dilarang, namun kelak dari ketrunan Prabu Angga Larang ada yang akan menjadi
Walillulah. Beberapa saat kemudian Syeh Hasanuddin mohon diri kepada Ki
Gede Tapa sendiri, sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa Ulama Besar,
Sebab Ia pun ingin menambah pengetahuannya tentang Agama Islam. Oleh karena itu
sewaktu Syeh Hasanuddin kembali ke Malaka, putrinya yang bernama Nyi Subang
Karncang dititipkan ikut bersama Ulama Besar ini untuk belajar Agama Islam di
Malaka.
Beberapa waktu kemudian Syeh Hasanuddin membulatkan tekadnya untuk kembali
kewilayah Kerajaan Hindu Pajajaran. Untuk keprluan tersebut, maka telah
disiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya termasuk Nyi
Subang Karancang. Setelah rombongan ini memasuki Laut Jawa, Kemudian memasuki Muara
Kali Citarum yang ramai dilayari oleh Perahu para pedagang yang memasuki wilayah
Pajajaran. Selesai menyusuri Kali Citarum ini akhirnya rombongan perahu singgah
di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang.Kedatangan rombongan Ulama Besar ini
disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang dan di izinkan untuk mendirikan
Musholla yang digunakan juga untuk belajar mengaji dan tempat tinggal.
Nama Karawang
berasal dari Bahasa Sunda KARAWA-AN, adalah Nama suatu kesatuan wilayah dan juga
nama salah satu pelabuhan yang terletak ditepi kali Citarum pada masa
pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Sebagai suatu Wilayah, Karwang sudah memegang
peranan penting pada masa Pemerintahan kerajaan Tarumanegara yang berkuasa pada
abad IV-VI M. Tim Arkelogi Nasional yang melakukan penelitian sejak tahun
1952 sampai sekarang, banyak menemukan peninggalan kerajaan Tarumanegara seperti
bekas bangunan candi dan lain-lainnya di sekitar Desa Seragan Batu Jaya dan Desa
Cibuaya. demikian juga adanya nama Patruman sebuah kampung di dekat
Rengasdengklok, diduga bakas salah satu pelabuhan Tarumanegara.
Pertama kali
Citarum beberapa abad yang lalu merupakan satu-satunya pilihan untuk jalur lalu
lintas bagi kelancaran kegiatan perdagangan, pemerintah dan lain-lain. Kerajaan
Pajajaran sebagai penerus kerajaan Tarumanegara yang memerintah pada abad VIII
untuk kepentingan yang sama.Disebutkan juga bahwa Karawang sebagai salah satu
pelabuhan penting kerajaan Pajajaran, seperti halnya pelabuhan Baten, Tanggerang,
Sunda Kelapa dan Bekasi. Dari Pelabuhan Karawang ramai diperdagangan barang
dagangan ke pelabuhan Sunda Kelapa, seperti madu, ikan kering dan hasil
pertanian yang banyak dibeli oleh para pedagang Portugis.
Selain sebagai
pelabuhan Karawang juga menjadi tampat persimpangan jalan darat dari Pakuan ibu
kota krajaan Pajajaran ke Kawali (galuh). Kota yang dilewati adalah Cibarusah,
Warunggede, Tangjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaherang, Sumedang,
Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga, bferakhir di Kawali.
Menurut Amir
Sutaarga dalam bukunya "Prabu Siliwangi" halaman 58, jalan darat
tersebut merupakan "High-way" nya kerajaan Pajajaran di masa itu.
Sebab dengan adanya jalur jalan darat, dan kota-kota pelabuhan seperti Bnaten,
Tanggerang, Sunda Kelapa, Bekasi, Karawang, maka seluruh wilayah Pajajaran
terkontrol secara baik.
Pentingnya peranan
pelabuhan Karawang, bukan saja pada masa pemerintahan Pajajaran dari abad VIII
sampai abad XVI M, yakni hampir 800 tahun, akan tetapi sampai juga masa
pemerintahan Sulatan Agung Mataram yang telah mengangkat Bupati Karawang pertama
Adipati Singaperbangsa dan Aria Wirasaba. Bahkan sampai berakhirnya masa
pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Pelabuhan Karawang memiliki 2 tempat
penghentian.Untuk perahun yang datang dari arah Patarumanatau Laut Jawa berlabuh
di Kampung Teluk Bunut. Sedangkan untuk perahu yang datang dari arah Cikao,
berlabuh di kampung Nagasari Jebug. Perahun para pedagang ini tidak mau
menelusuri Kali Citarum yang melingkari kampung Poponcol. Selain jaraknya cukup
jauh yaitu hampir 5 Km, juga pada masa itu airnya deras dan banyak batu cadas.
Sedangkan jika berhenti di pelabuhan KampungTeluk Bunut dan Nagasari, anatara
kedua tempat berlabuh itu jfaraknya cukup dekat dan hanya memerlukan jalan
penghubung sepanjang kira-kira 400 meter.
Dengan adanya 2
pelabuhan tersebut maka akan timbul kegiatan muat bongkar, terjadinya jual beli
sehingga dibutuhkan adanya pasar. Warung makanan minuman, tempat menginap bagi
yang kemalaman. Sedangkan bagi petugas perwakilan pemerintah Pajajaran ada
kegiatan memelihara keamanan dan ketertiban, pengawasan lalu lintas barang dan
orang bepergian dan sebagainya.
Ke Pelabuhan
Karawang dengan kesibukan seperti dijelaskan itulah, rombongan Syeh Quro dengan
2 perahunya itu singgah yang menurut Buku Rintisan Sejarah Masa Silam Jawa Barat
terbitan tahun 1983-1984 disebut Pura Dalem. Mungkin yang dimaksud ialah kota (pura)
dimana ada kegiatan petugas pemerintah di bawah kewenangan jabatan Dalem. Yang
tidak lain ialah pelabuhan Karawang. Rombongan Ulama Besar ini lazimnya sangat
menjunjung peraturan kota pelabuhan yang dikunjungi, sehingga aparat setempat
sangat menghormatinya dan memberi izin untuk mendirikan musholla yang digunakan
tempat untuk mengaji atau peasntren dan sekaligus sebagai tempat tinggal. Lokasi
yang dipilih untuk keperluan itu tentu tidak begitu berjauhan dengan kegiatan
pelabuhan. Setelah beberapa waktu berada dipelabuhan Karawang, Syeh Quro
menyampaikan Da'wahnya di Musholla yang dibangunnya penuh keramahan. Uraiannya
tentang Agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, Karena Ia
bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al Qur'an memberikan
daya tarik tersendiri, karena Ulama Besar ini memang seorang Qori yang merdu
suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara
sukarela menyatkan masuk Islam.
Berita tentang
dakwah Syeh Quro di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar Prabu Angga
Larang yang pernah melarang Syeh Quro melakukan kegiatan yang sama ta'kala
mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon, seperti sudah disinggunkan pada bab II
terdahulu. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh putera mahkota
yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syeh Quro. Namun ta'kala
putera mahkot ini tiba ditempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan
suara merdu pembaca ayat-ayat suci Al Qur'an yang dikumandangkan oleh Nyi Subang
Karancang. Putar Mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar
Prabu Siliwangi, itu mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren Quro, dan
tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Karancang
yang cantik itu. Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyi santri dengan syarat
maskawinnya harus "Bintang Saketi" yaitu simbol dari "tasbeh"
yang berada di Negeri Mekah. Sumber lain menyatakan bahwa, hal itu merupakan
kiasan bahwa sang Prabu harus masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat
Isalam. Selain itu, Nyi santri juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan
dilahirkan kelak harus ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya
disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu ke mudian pernikahan
pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro atau Mesjid Agung sekarang dan
Syeh Quro bertindak sebagai penghulunya.
Perkawinan di
musholla yang senantiasa mengAngukan asma Allah SWT itu memang telah membawa
hikmah yang besar. Para putera puteri yang dikandung oleh Nyi Subang Karancang
yang muslimah itu, memancarkan sinar IMAN dan ISLAM bagi umat di sekitarnya. Nyi
Subang Karancang sebagi isteri seorang Raja memang harus berada di Istana Pakuan
Pajajaran, dengan tetap memancarkan Cahaya Islam. Putera pertama yang
laki-laki bernama Raden Walangsungsang setelah melewati usia remaja, maka
bersama adiknya yang bernama Raden Rara Santang, meninggalkan Istana Pakuan
Pajajaran kemudian mendapat bimbingan dari Ulama Besar yang bernama Syeh Dzatul
Kahfi di Paguron Islam di Cirebon. Setelah kakak beradik ini menunaikan ibadah
Haji, maka Raden Walangsungsang menjadi Pangeran Cakrabuana memimpin
pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon. Sedangkan Raden Rara Santang waktu
di Mekah diperistri oleh Sulatan Mesir yang bernama Syarif Abdillah. Adik Raden
Walangsungsang yang bungsu adalah laki-laki bernama Raden Kian Santang, pada
masa dewasanya menjadi Munaligh untuk menyebarkan Agama Islam di daerah Garut.
Adapun Raden Nyi
Mas Rara Santang setelah kawin dengan Syarif Abdillah, namanya diganti menjadi
Syarifah Muda'im. Dari perkawinan ini mereka dikarunai dua orang putera
masing-masing bernama Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah. Setelah ayahnya
meninggal dunia jabatan sultan diserahkan kepada Syarif Nurullah, sebab Syarif
Hidayatullah setelah menimba ilmu Agama yang luas dari para Ulama Mekah dan
Bagdad, ia bertekad untuk menjadi Mubaligh di Cirebion. Demikianlah tahun 1475
ia bersama ibunya berlayar ke Cirebon dan kedatangnya disambut dengan penuh
kebahagiaan oleh Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat. Setelah usia Pangeran
Cakraningrat cukup tua, Syarif Hidayatullah dipercaya untuk menggantikan
kedudukannya dengan gelar Susuhunan atau Sunan. Pengangkatan Syarif Hidayatullah
tersebut mendapat dukungan terutama dari Raden Fatah, Pemimpin Pesantren dan
Sunan Bintoro, putera Raja Majapahit Brawijaya V, yang diangkat menjadi Sulatan
Kerajaan Islam Demak I. Dalam rangka pembangunan Mesjid Agung Demak, Sunan
Cirebon diundang untuk menetapkan kebijaksanaan tentang penyebaran Agama Islam
di Pulau Jawa. Sidang para Sunan yang dikenal Wali Songo itu juga menetapkan
bahwa Syarif Hidayatullah diangkat menjadi ketua atau pimpinan dari Wali Songo,
dengan gelar Sunan Gunung Jati. Dengan demikian apa yang dikatakan oleh Syeh
Quro, bahwa kelak dari keturunan Raja Pajajaran ada yang menjadi Waliyullah, dan
permohonan Nyi Subang Karancang perkawinannya dengan Prabu Siliwangi ada yang
menjadi Raja, telah menjadi kenyataan. Sejarah juga mencatat, bahwa dengan
berkembangnya kerajaan Islam yang mendapat dukungan dari Wali Songo, maka
pengaruh kerajaan Majapahit dan Pajajaran semakin memudar. Bahkan pada tahun
1579 M, kerajaan Pajajaran lumpuh sama sekali akibat dikalahkan oleh Syeh Yusuf
itu adalah Putera Sultan Hasanuddin atau cucu Sunan Gunung Jati, yang tidak lain
masih keturunan Nyi Subang Karancang dari perkawinannya dengan Prabu Siliwangi
yang diselenggarakan di Mesjid Agung Karawang.
Adapun kegiatan
pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari pelabuahan Karawang, rupanya
kurang berkembangnya karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan
Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi oleh Syeh Quro, sehingga pengajian di
pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di Masjid lebih dititik beratkan pada
ibadah seperti sholat berjamaah. Kemudian para santri yang telah berpengalaman
disebarkan kepedesaan untuk mengajarkan Agama Islam, terutama daerah Karawang
bagian Selatan seperti Pangkalan. Demikian juga kepedesaan dibagian Utara
Karawang yang berpusat di Desa Pulo Kalapa dan sekitarnya. Banyak hal yang
menarik dalam cara penyebarannya Agama Islam oleh Syeh Quro antara lain :
1. Sebelum menyampaikan ajaran Islam dibangunnya terlebih
dahulu sebuah Masjid, seperti halnya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad
Rosulullah SAW, sewaktu melakukan Hijrah dari Mekah ke Madinah, maka
beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.
2. Dalam menyampaikan ajaran Islam ditempuhnya melalui
pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah, sebagaimana Firman Allah dalam Al
Qur'an surat XVI An Nahl ayat 125, yang artinya : "Serulah kejalan
tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan pelajaran yang baik, dan
bertukar fikiranlah dengan mereka dengan cara yang terbaik".
3. Sebelum memulai Dakwahnya, telah disiapkan para kader
penyebaran Agama Islam (Mubaligh-Mubalighoh) yang mampu berhubungan dengan
masyarakat, termasuk Nyi Subang Karancang. Syeh Quro sangat memperhatikan
situasi kondisi masyarakat dan sangat menghormati adat istiadat penduduk yang
didatanginya.
4. Para Ulama dan tokoh masyarakat kebanyakan berpendapat
bahwa tempat pengabdian Syeh Quro sampai akhir masanya, ialah di Desa Pulo
Kalapa Kecamatan Lemah Abang.
5. Pengabdian Syeh Quro demgam para santri dan para Ulama
generasi penerusnya adalah " menyalakan pelita Islam", sehingga
sinarnya memancarkan terus di Karawang dan sekitarnya.
Dalam semaraknya
penyebaran Agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syeh Quro,
kemudian disempurnakan oleh para Ulama dan Umat Islam yang modelnya berbentuk
"joglo" beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan
Cirebon.
Dalam sejarah
pembinaan masjid Agung ada 3 unsur yang melakukan pembinaan, dalam arti memimpin
peribadahan, pemeliharaan dan pengembangan bangunan masjid yaitu para Ulama dan
tokoh masyarakat, para jemaah serta para Bupati. Adipati Singanperbangsa yang
menjabat sebagai Bupati Karawang pertama antara tahun 1633-1677 M, semula ia
berkantor di daerah Udug-udug. Kemudian karena berbagai pertimbangan, ia
memindahkan pelabuhan Karawang. Pilihan tersebut tentu karena di tempat ini
telah ada pasar, ada masjid Agung, dan sarana penunjang lain, termasuk pelabuhan
itu sendiri yang meperlancar kegiatan lalu lintas perdagangan, pemerintah, dan
sebagainya. Oleh karena itu di dekat masjid Agung dibangun antara lain;
alun-alun yang ditanami 2 pohon beringin di bagian kanan kirinya, kantor dan
pendopo kebupaten, kantor keamanan dan tempat tahanan. Sehingga lingkungan
pendopo kabupaten itu mencerminkan seuatu kegiatan pemerintah yang menjunjung
aspirasi masyarakat yang demokratis, pemerintah memelihara budi pekerti
rakyatnya, agar selain taat kepada pemerintah, juga taat kepada Allah dan
Rosulnya. Untuk meningkatkan budi pekerti warga masyarakat maka Bupati adipati
Singaperbangsa memperindah bangunan masjid dan direnovasi diselaraskan dengan
kantor / pendopo kabupaten yang baru dibangun. Menurut Dra. Eny Suhaeny dan Drs.
Tugiyono Ks dalam bukunya "Sejarah terbentuknya Kabupaten Karawang"
halaman 22, Drs Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa masjid AgungKarawang
menggunakan model, bentuk dan kontruksi pasak yang sama modelnya dengan masjid
Demak, meskipun besar bangunannya tidak sama. Penataan suatu kantor kabuipaten
dengan memasukan unsur Alun-alun dan masjid serta kantor-kantor pendukung
lainnya adalah sejalan dengan sistem pemerintahan kesultanan Islam pada masa itu
atas gagasan Sunan Kali Jaga salah seorang anggota Wali Songgo yang menjadi
penasehat kesultanan Islam pertama Bintoro atau Demak. Sebagaimana dimaklumi
bahwa Bupati Karawang pada waktu itu merupakan bawahan dari Sulatan Agung yang
bertekad untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa dan sekitarnya
dimana Karawang dipersiapkan sebagai pusat penyerangan tentara Mataram terhadap
kedudukan tentara VOC atau Kompeni di Batavia, dan Karawang juga harus menjadi
lumbung padi sebagai pusat logistik dari peperangan tersebut. Hampir selama 44
tahun Adipati Singaperbangsa melaksanakan tugas pemerintahannya dengan
memfungsikan masjid Agung sebagai tempat beribadah dan memotivasi masyarakat
agar berperan serta dalam menunaikan tugas-tugas kenegaraannya.
Setelah Adipati
Singaperbangsa meninggal dunia yang dimakamkan di Manggung Ciparage pada tahun
1677 M, tiga Bupati penerusnya tidak berkantor di Babakan Kartayasa, melainkan
berkantor di daerah Pangkalan. yaitu ; Raden Anom Wirasuta atau Panatayda I yang
menjabat Bupati antara Tahun 1677 - 1721 M, berkantor di Waru dekat Loji, dan
Radeb Martanegara atau Panatayuda III menjabat antara tahun 1732 - 1752 M, juga
berkantor diWaru Pangkalan. Rupanya Masjid Agung yang telah direnovasi oleh
Adipati Singaperbangsa, tidak lagi diadakan penambahan dimasa pemerintahan
Bupaati Karawang II,III,dan IV. Pada masa Bupati V yaitu Raden Muhamad Soleh
atau Panatayuda IV,Kantor bupati dipindahkan kembali ke Babakan kertayasa.
Bupati V ini memerintah antara tahun 1752 - 1786 M, dikenal sebagai dalem
Balon. Rupanya Bupati ini mendapat kehormatan "naik nalon". Dari
pemerintahan Kolonial Belanda, dan pada waktu itu hal tersebut jarang
terjadi.Ia termasuk pembina Masjid Agung, dan waktu meninggal Dunia ia dimakam
kan dekat Masjid ini, tahun 1993 atas persetujuan para sesepuh, kerangka
jenazahnya dipindahkan dan dimakamkan kembali dikomplek makam Bupati Karawang di
Desa Manggung Jaya Cilamaya.
Sejak masa Bupati
Karawang VI sampai Bupati Karawang IX yakni antara tahun 1786 - 1827,
tidak ada petunjuk dilakukannya perbaikan yang berarti apalagi perluasan
bangunan dan
sebagainya.Sebab sejak tahun 1827 para Bupati Karawang IX sampai bupati XXI atas
kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda tidak lagi berkantor dikota Karawang
melainkan keWanayasa dan Purwakarta, Sehingga sapat dipahami apabila para Bupati
yang berkedudukan di Wanayasa dan Purwakarta perhatiannya kurang terhadap
pembinaan Masjid Agung secara langsung, kemunginan dipercayakan kepada wedana
atau camat yang bertugas dikota Karawang.
Setelahberlakunya
Undang Undang no 14 tahun 1950 tentang pembentukan daerah daerah Kabupaten
dilingkungan Propinsi Jawa Barat maka kabupaten Karawang terpisah dari kabupaten
Purwakarta dan Ibukotanya kembali di Karawang. Sedangkan BUpati Karawang masa
itu dijabat oleh Raden Tohir Mangkudijoyo yang memerintah tahun 1950 - 1959,
pada tahun 1950 atas persetujuan para Ulama dan Umat Islam, Mesjid Agung
diperluas pada arah bagian depan dengan bangunan permanen ukuran 13 x 20 m
ditambah menara ukuran kecil dan satu Kubah ukuran 3 x 3 m dengan tinggi
12 m, atap dari seng adapun luas tanah mesjd termasuk makam adalah 2.230
m
Tags : Pangkalan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Responses to “Sejarah Masuknya Islam ke Karawang”
Post a Comment