Peraturan Pertambangan Karawang Selatan
by Oekar Luth
Tweet |
Bentang Karawang
Selatan yang unik ini telah menjadi daya tarik sendiri bagi para
investor yang melihatnya dari kacamata ekonomi. Namun sayang para
investor ini merasa diuntungkan dengan keberadaan pemerintahan kabupaten
(pemkab) yang hanya mengambil untung dan kepentingan pribadi beserta
kelompoknya dibandingkan mensejahterakan masyarakatnya.
Masyarakat Karawang Selatan dianugerahi sumber daya alam yang luar biasa potensinya, tapi sumber daya alam yang luar biasa potensinya itu, saat ini belum bisa mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan banyak para investor yang menabrak peraturan-peraturan di negara ini dan pemkab yang terlalu sibuk menjadikan peraturan sebagai daya menaikan harga tawar kepada para investor yang mencari untung sendiri. Maka perlu rasanya untuk mengkaji sejauh mana dan peraturan mana saja yang sudah diabaikan oleh para investor dan pemangku kewenangan.
Masyarakat Karawang Selatan dianugerahi sumber daya alam yang luar biasa potensinya, tapi sumber daya alam yang luar biasa potensinya itu, saat ini belum bisa mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan banyak para investor yang menabrak peraturan-peraturan di negara ini dan pemkab yang terlalu sibuk menjadikan peraturan sebagai daya menaikan harga tawar kepada para investor yang mencari untung sendiri. Maka perlu rasanya untuk mengkaji sejauh mana dan peraturan mana saja yang sudah diabaikan oleh para investor dan pemangku kewenangan.
UUD 1945 Amandemen Ke-4
Landasan hukum tertinggi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang
menjadi dasar atas peraturan yang lain. Dalam UUD 1945 hasil Amandemen
ke-4 setidaknya ada 4 pasal yang sesuai jika diterapkan dalam
prikehidupan di Kawasan Karawang Selatan. Yaitu pasal 18A ayat 2, pasal
28B ayat 2, pasal 28H ayat 1 dan pasal 33 ayat 3. Setiap pasal dalam UUD
1945 yang berkaitan dengan Karawang Selatan saat ini juga menjadi
rujukan untuk peraturan-peraturan turunannya. Seperti Ketetapan MPR,
Undang Undang, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah baik
Provinsi maupun Kabupaten dan Peraturan lainnya yang berlaku di
Indonesia saat ini.
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 18A Ayat 2 mengatakan “Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”. Pasal 28B Ayat 2 mengatakan “Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28H Ayat 1 mengatakan “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Pasal 33 Ayat 3 mengatakan “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Pasal 18A Ayat 2 jelas-jelas menekankan
azas keadilan dan keselarasan antara pemerintah daerah dan pemerintah
pusat dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Jika
pertambangan ilegal yang terjadi di Kawasan Karawang Selatan tak
terdaftar di BPMPT Karawang dan tak terdaftar izinnya di organisasi
kepemerintahan baik pusat maupun daerah, maka bagaimana akan disebut
sebagai keadilan dan keselarasan pemanfaatan.
Tak ada keadilan untuk pemerintah daerah yang butuh pemasukan keuangan daerah untuk dipakai membangun fasilitas umum, pendidikan dan kesehatan, begitu juga pemerintah pusat. Dan seperti apa keselarasan yang tercipta antara pemerintahan daerah jika pertambangan ilegal di Karst Pangkalan menyuplai pabrik yang ada di daerah lain. Sementara pajak pendapatan daerahnya masuk kedaerah Kab.Bekasi dan kerusakan lingkungan hidupnya ada di Kab.Karawang. Hal sama juga terjadi untuk WP Gn.Sirnalanggeng Pegunungan Sanggabuana yang ruistlag-nya merugikan Kab.Karawang, karena wilayah penggantinya berada di Kab.Purwakarta.
Tak ada keadilan untuk pemerintah daerah yang butuh pemasukan keuangan daerah untuk dipakai membangun fasilitas umum, pendidikan dan kesehatan, begitu juga pemerintah pusat. Dan seperti apa keselarasan yang tercipta antara pemerintahan daerah jika pertambangan ilegal di Karst Pangkalan menyuplai pabrik yang ada di daerah lain. Sementara pajak pendapatan daerahnya masuk kedaerah Kab.Bekasi dan kerusakan lingkungan hidupnya ada di Kab.Karawang. Hal sama juga terjadi untuk WP Gn.Sirnalanggeng Pegunungan Sanggabuana yang ruistlag-nya merugikan Kab.Karawang, karena wilayah penggantinya berada di Kab.Purwakarta.
Pasal 28B Ayat 2 menekankan jaminan
negara kepada putra putri penerus bangsa untuk mendapatkan hak
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang. Namun jika Kawasan Karawang
Selatan yang sejatinya adalah hulu daur hidrologi Karawang ditambang
secara ilegal dan membabi buta tanpa ada azas keadilan pada daya tampung
dan daya dukung lingkungan hidupnya. Maka dimana negara sebagai
penjamin setiap anak-anak yang ada di Karawang Selatan, Karawang Tengah
dan Karawang Utara bebas dari kebencanaan atas dampak dari pertambangan
ilegal dan membabi buta terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup. Dan juga jaminan negara untuk memberikan hak kepada setiap anak
Indonesia mengenal dan mengetahui ke eksotisan dari ekosistem kawasan
geologi yang terbentang di Karawang Selatan. Jika pertambangan terus
berlanjut, maka tak ada yang tersisa dari semua itu dan negara telah
lalai menjamin hak setiap putra putrinya mengenal bentang geologi
Karawang Selatan.
Pasal 28H Ayat 1 menyatakan setiap
manusia Indonesia dilindungi dan dijamin hak-haknya untuk hidup
sejahtera dari lahirnya dan batinnya, bertempat tinggal yang aman dan
nyaman, memperoleh lingkungan hidup yang lestari dan mendapatkan jaminan
kesehatan. Karawang Selatan telah menjadi awal dari ketidak nyamanan
manusia Karawang yang hidup di bantaran Sungai Citarum dan Sungai
Cibeet. Pertambangan telah menjadikan Karawang beserta masyarakatnya
menanggung dampak semakin buruknya lingkungan hidup. Menjadikan
masyarakat Karawang tidak sejahtera secara lahir karena harta bendanya
selalu terdampak bencana hasil pertambangan. Setiap tahun hampir setiap
rumah di Karawang tidak aman untuk keluarga Indonesia dan hilang rasa
nyamannya karena selalu kebanjiran. Hingga kesehatan masyarakat tak
terjamin, dan itu dikarenakan hilangnya perlindungan dan jaminan negara.
Pasal 33 Ayat 3 telah hilang
penjaminannya dan perlindungannya di Kawasan Karawang Selatan. Hal ini
berkaitan dengan apa yang dijamin dalam pasal tersebut yang mengatakan
bumi dan air beserta seluruh apa yang terkandung didalamnya dikuasai dan
dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun kenyataannya tak ada jaminan dan perlindungan yang terjadi atas
apa yang terkandung di dalam bumi dan air Karawang Selatan. Sehingga
kekuasaan negara dipertanyakan oleh rakyatnya dan negara tak mampu
mempergunakan kekayaan alam Karawang Selatan untuk kemakmuran rakyatnya
apalagi untuk sebesar-besarnya kemakmuran.
TAP MPR No.IX Tahun 2001
Setelah kita menggaris bawahi semua
pasal dalam UUD 1945 hasil amandemen ke-4, maka perlu kita korelasikan
satu demi satu dengan peraturan lain yang berlaku di Indonesia. Kita
mulai mengkaji Ketetapan (TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
No.IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Sejatinya seluruh pasal dan ayat dalam TAP MPR No.I Tahun 2001
menyatakan bahwa agraria dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya
adalah untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.
Seperti apa yang di katakan Pasal 3 “Pengelolaan sumber daya alam
yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal,
adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan”. Serta Pasal 4 mengatakan “Negara mengatur pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Kedua pasal dalam TAP MPR No.IX Tahun
2001 ini telah gugur keberadaannya di Kawasan Karawang Selatan saat ini.
Bagaimana tidak, pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di
Karawang Selatan tidak dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan
ramah lingkungan. Dan juga negara tidak pernah mengatur serta melakukan
pengawasan terhadap sumber daya alam yang ditambang di Karawang
Selatan untuk kemakmuran rakyat. Pertambangan Karawang Selatan tidak
adil kepada rakyat termasuk berkelanjutan bagi penerus bangsa yang akan
datang sehingga keoptimalan dan keramahan pada lingkungan hidup
terabaikan. Alhasil kemakmuran rakyat di Karawang Selatan tak terjamin
oleh negara, padahal dengan sumber daya alam yang luar biasa potensinya
itu setidaknya masyarakat akan mendapatkan hak-hak dasar hidup.
Perundangan Lingkungan Hidup
Pada UU No.32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 1 Ayat 1
dijelaskan tentang arti dari lingkungan hidup. Yaitu, “Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam
itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain”. Sementara pada UU No.5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Hayati & Ekosistemnya (Konservasi Hayati)
Pasal 1 Ayat 2 dijelaskan tentang arti dari konservasi sumber daya alam
hayati. Yaitu, “Konservasi sumber daya alam hayati adalah
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya”.
Dan dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Pasal 1 Ayat 5 dijelaskan tentang arti dari sumber air, yaitu “Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah”. Juga dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 Ayat 2 dijelaskan tentang arti dari hutan, yaitu “Hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.
Empat perundangan di atas adalah beberapa dari undang undang lainnya
yang mengatur tentang lingkungan hidup di Indonesia. Maka empat
perundangan ini menjadi tolak ukur dari apa-apa yang telah dilanggar di
Karawang Selatan terhadap lingkungannya yang disebabkan oleh
pertambangan.
UU No.32 Tahun 2009 tentang PPLH pada Pasal 12 tentang pemanfaatan Ayat 1 dijelaskan bahwa “Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH”.
RPPLH adalah singkatan dari Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dalam aturannya pejabat yang berwenang membuat RPPLH
mulai dari menteri, gubernur sampai dengan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya. Namun pemanfaatan yang terjadi di Karawang Salatan tidak
dibarengi dengan adanya RPPLH, hal ini karena Karawang belum memiliki
RPPLH. Sementara Pasal 12 Ayat 2 menjelaskan jika RPPLH belum tersusun,
maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan dengan landasan pada daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung dan daya tampung
di tingkat kabupaten ditetapkan oleh Bupati dengan memperhatikan 3 poin
utama, yaitu keberlanjutan proses dan fungsi LH, keberlanjutan
produktifitas LH dan keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan
masyarakat. Maka apakah Bupati Karawang sudah menetapkan daya dukung dan
daya tampung LH Karawang dengan memperhatikan 3 poin utama tersebut?!.
Jika salah satu poin utama tersebut tidak ada dalam daya dukung dan daya
tampung yang ditetapkan, maka penetapan itu gugur adanya dan
pemanfaatan sumber daya alam Karawang Selatan tidak bisa dilakukan
karena melanggar peraturan yang berlaku.
Pasal 15 UU No.32 Tahun 2009 menjelaskan
tentang pentingnya KLHS dalam penyusunan atau evaluasi dari RTRW
(Rencana Tata Ruang Wilayah) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang atau
Menengah (RPJP/RPJM). KLHS sendiri adalah Kajian Lingkungan Hidup
Strategis yang salah satunya harus memuat efisiensi pemanfaatan sumber
daya alam. Maka jika WP maupun WUP telah ditetapkan dalam RTRW, RPJM
atau RPJP dapat dievaluasi atau disusun kembali berdasarkan hasil dari
KLHS jika efisiensi pemanfaatannya, dampak dan risiko lingkungan
hidupnya sudah terlampaui. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 17 Ayat
2 baik poin a maupun b.
Sementara dalam Pasal 21 UU No.32 Tahun
2009 yang menerangkan tentang kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
pada Ayat 3 poin g dijelaskan tentang kriteria baku kerusakan karst. Dan
juga dalam Pasal 22 Ayat 1 dijelaskan tentang kewajiban setiap usaha
dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap kerusakan lingkungan
hidup untuk memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Penegasan setiap usaha dan/atau kegiatan yang harus memiliki AMDAL
dijelaskan dalam Pasal 23 Ayat 1, dan pertambangan masuk kedalam
kriteria yang harus memiliki dokumen AMDAL. Dalam UU No.32 Tahun 2009
ditegaskan melalui Pasal 44 bahwa “Setiap penyusunan peraturan
perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan
perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini”. Maka jika ada peraturan perundang-undangan di
tingkat nasional maupun daerah yang tidak mengedepankan azas keadilan
terhadap lingkungan hidup dapat diabaikan karena tidak memperhatikan UU
No.32 Tahun 2009 tentang PPLH.
UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Hayati dalam Pasal 3 menjelaskan “Konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”. Inilah
semangat yang terkandung dalam kegiatan atau setiap usaha tentang
konservasi hayati dan ekosistemnya, yaitu untuk mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat beserta mutu kehidupannya. Maka
tidak ada alasan lagi jika ada seseorang atau lembaga yang beropini
tentang pertambangan adalah kesejahteraan, karena sudah jelas dalam
pasal tersebut menyatakan konservasi hayati dan ekosistemnya adalah
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan.
Pasal 4 UU No.15 Tahun 1990 mengatakan
bahwa tanggung jawab juga kewajiban dari kegiatan konservasi hayati dan
ekosistemnya adalah tugas dari pemerintah serta masyarakat. Dalam Pasal 9
Ayat 1 menjelaskan “Setiap pemegang hak atas tanah dan hak
pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib
menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut”.
Penjelasan Pasal 9 Ayat 1 ini dengan gamblang mengatakan tentang
pemegang hak atas tanah di wilayah sistem penyangga kehidupan memiliki
kewajiban untuk menjaga kelangsungan atas fungsi perlindungan wilayah
tersebut. Pegunungan Sanggabuana dan Karst Pangkalan merupakan wilayah
sistem penyangga kehidupan bagi Kabupaten Karawang secara keseluruhan,
maka setiap pelaku tambang dikawasan tersebut wajib hukumnya menjaga
fungsi perlindungannya.
UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada Pasal 2 menerangkan “Sumber
daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan,
kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian,
serta transparansi dan akuntabilitas”. Maka Karawang Selatan
sebagai kawasan hulu dari daur hidrologi Karawang harus dikelola dengan
azas kelestarian dalam keseimbangan bagi lingkungan hidup, bermanfaat
untuk umum, terpadu dalam serasi dan berkeadilan bagi kesejahteraan
masyarakat serta lingkungan. Pasal 21 menjelaskan tentang perlindungan
dan pelestarian sumber daya air salah satunya dari kerusakan atau
gangguan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Ayat 2 poin a pada pasal
tersebut menjabarkan tentang perlindungan dan pelestarian sumber daya
air dengan cara pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah
tangkapan air. Peraturan ini harusnya menjadi catatan penting
pemerintah kabupaten ketika akan menetapkan Karawang Selatan sebagai WP
atau WUP. Karena sejatinya Karawang Selatan dengan Karst Pangkalan dan
Pegunungan Sanggabuananya adalah kawasan resapan dan daerah tangkapan
air bagi Kabupaten Karawang.
Pasal 24 UU No.7 Tahun 2004 mengatakan “Setiap
orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan
rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air,
dan/atau mengakibatkan pencemaran air”. Pemkab Karawang seharusnya
dapat menjalankan Pasal 25 Ayat 1 dari undang-undang tersebut.
Sebagaimana yang dijelaskan terdahulu kalau kawasan Karawang Selatan
merupakan daerah tangkapan air alami yang dimiliki Karawang
satu-satunya. Pasal 52 menyatakan pelarangan kepada orang atau badan
usaha melakukan kegiatan yang dapat terjadinya daya rusak air. Sangat
jelas pertambangan di kawasan Karawang Selatan telah banyak menimbulkan
terjadinya daya rusak air. Bagaimana terjadinya banjir bandang, banjir
luapan dan banjir genangan dikarenakan daya dukung dan daya tampung
lingkungan di daerah resapan dan tangkap air telah rusak karena
pertambangan.
UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dalam Pasal 3 penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan
memperhatikan beberapa poin. Seperti dalam poin c yang mengatakan “meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai”,
tentu saja fungsi dari keberadaan hutan bagi daerah aliran sungai
sangat tepat bagi Karawang Selatan. Bagaimana Karawang Selatan yang
memiliki begitu banyak sungai yang berhulu di hutan-hutannya, maka
hutan-hutan yang berada di tanah negara dan dikelola oleh BUMN Perhutani
tersebut tidak boleh diruistlag untuk alasan apapun. Diperkuat dengan
jaminan dari Pasal 4 Ayat 1 yang menegaskan bahwa semua hutan dengan
kekayaan alam yang terkandungnya dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun persoalan pertambangan untuk
mengeruk sumber daya alam yang terkandung di hutan-hutan negara telah
menjadikan negara lalai serta lemah dalam pengawasan dan penegakkan
peraturan.
Pasal 18 UU No.41 Tahun 1999 menyatakan
keharusan pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas dan
penutupan hutan untuk suatu daerah aliran sungai. Pada Ayat 2-nya hutan
yang harus dipertahankan minimal sebesar 30% dari luasan daerah aliran
sungai, maka untuk Karawang yang memiliki luasan DAS Citarum dan Cibeet
dengan 100.000 Ha ditetapkan 30.000 Ha untuk tutupan hutan yang harus
dipertahankan oleh pemerintah. Harus dipertahankan tutupan hutan yang
ada di Karst Pangkalan (6.900 Ha) dan Pegunungan Sanggabuana (29.000 Ha)
oleh Pemkab Karawang serta Provinsi Jawa Barat sebagai pelaksanaan
amanat dari peraturan tersebut. (Pasal 18 Ayat 2 mengamanatkan
30% dari luasan DAS (Daerah Aliran Sungai) harus berupa tutupan hutan,
jika dikalkulasikan seluruhan Kabupaten Karawang adalah daerah DAS. Dari
170.000 Ha luasan Kab.Karawang ditarik 100.000 Ha sebagai penengah,
maka dibutuhkan 30.000 Ha hutan tutupan untuk Kab.Karawang. Dan saat ini
hanya Karawang Selatan yang memiliki tutupan hutan yang baik bagi
Kab.Karawang. Namun itu pun terganggung keberadaannya oleh alih fungsi
dan pertambangan. 29.000 Ha Pegunungan Sanggabuana dan 6.900 Ha Karst
Pangkalan jika ditambahkan jumlahnya 35.900 Ha, tapi untuk Pegunungan
Sanggabuana sendiri keseluruhannya bukan berada di wilayah Kab.Karawang
seutuhnya. Maka selain harus ditambah tutupan hutannya juga harus dijaga
keberadaannya).
Ketika Pemkab Karawang dan Perhutani
melakukan pembiaran terhadap kerusakan di kawasan hutan baik itu di
Karst Pangkalan maupun Pegunungan Sanggabuana, maka telah terjadi
pengabaian terhadap UU No.41 Tahun 1999 Pasal 23. Karena dalam pasal
tersebut disebutkan pemanfaatan hutan harus optimal untuk kesejahteraan
rakyat dan berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pasal 38
Ayat 3 juga menyatakan “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri
dengan mempertim-bangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan”. Penggunaan-penggunaan kawasan hutan
Karawang Selatan yang digunakan untuk kepentingan pertambangan harus
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu serta kelestarian
lingkungan. Namun pada kenyataannya seperti yang terjadi di WP
Gn.Sirnalanggeng tidak ada pertimbangan-pertimbangan tersebut, dan ada
kepentingan pusat atau nasional di sini karena pada Ayat 5 pasal
tersebut pemberian izin dilakukan oleh Menteri dan DPR.
Pasal 50 pada UU No.41 Tahun 1999 di
Ayat 3 poin c ditetapkan pelarangan penebangan pohon di beberapa
kriteria yang tersebut, apalagi untuk dilakukan pertambangan seperti
kriteria 500 dan 200 meter dari waduk, danau, mata air dan sungai sangat
dilarang. Poin g pada ayat dan pasal di atas juga menekankan pelarangan
terhadap pendataan, eksplorasi serta eksploitasi pertambangan di
kawasan hutan tanpa memiliki izin dari Menteri, maka siapakah yang
memberikan izin ekspkoitasi serta eksplorasi pertambangan kepada
PT.Atlasindo Utama dan penambang batu gamping?.
Peraturan Pertambangan
Pada kajian peraturan pertambangan ini
akan disampaikan satu undang-undang yaitu UU No.4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Juga dua peraturan pemerintah yaitu
PP No.22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan PP No.23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Untuk PP No.23 Tahun 2010 telah terjadi dua kali perubahan oleh PP No.24
Tahun 2014 perubahan pertama dan perubahan kedua oleh PP No.1 Tahun
2014. Selain undang-undang dan peraturan pemerintah, juga disinggung
satu keputusan menteri dan dua peraturan menteri, yaitu KepMent ESDM
No.1204 Tahun 2014 tentang Penetapan WP Jawa dan Bali serta PerMent ESDM
No.2 Tahun 2013 tentang Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pengelola
Usaha Pertambangan Yang Dilaksanakan Oleh Pemprov dan Pemkab/Pemkot. Dan
PerMent ESDM No.7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan
Pascatambang Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
UU No.4 Tahun 2009 menyatakan “Pertambangan
adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangktutan dan penjualan, serta kegiatan
pasca tambang” terdapat pada Pasal 1 Ayat 1. Penegasan tentang
sumber daya alam adalah kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara
untuk kesejahteraan rakyat disebutkan pada Pasal 4 Ayat 1. “Penguasaan
mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah” penjelasan pada Ayat 2-nya.
Sementara Pasal 5 beserta ayat-ayatnya
pada UU No.4 Tahun 2009 menerangkan dengan sejelas-jelasnya bahwa
pertambangan merupakan kepentingan nasional, diatur oleh pemerintah
pusat dan pemerintah daerah harus mematuhi seluruh kebijakan nasional
tentang pertambangan mineral dan batu bara. Pasal 6 Ayat 1 poin j
mengamanatkan kewenangan pemerintah untuk mengevaluasi IUP Operasi
Produksi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah yang dalam prosesnya
telah merusak lingkungan dan tidak menerapkan kaidah pertambangan yang
baik.
Maka seyogyanya pemerintah harus mengevaluasi IUP Proses Produksi yang dimiliki oleh PT.Atlasindo Utama (Andesit) dan PT.Jui Shin Indonesia (Gamping) yang jelas telah merusak lingkungan dan tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik. Pasal 7 Ayat 1 poin j mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk melakukan kordinasi dan pengawasan terhadap penggunaan bahan peledak di kawasan pertambangan sesuai dengan kewenangannya. Pasal 8 Ayat 1 poin g mengharuskan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Pada faktanya ke dua pasal tersebut tidak dijalankan sebagai kewenangan yang diamanatkan undang-undang oleh Pemprov dan Pemkab di Karawang Selatan, sehingga masyarakatnya diabaikan dan tidak diperhatikan.
Maka seyogyanya pemerintah harus mengevaluasi IUP Proses Produksi yang dimiliki oleh PT.Atlasindo Utama (Andesit) dan PT.Jui Shin Indonesia (Gamping) yang jelas telah merusak lingkungan dan tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik. Pasal 7 Ayat 1 poin j mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk melakukan kordinasi dan pengawasan terhadap penggunaan bahan peledak di kawasan pertambangan sesuai dengan kewenangannya. Pasal 8 Ayat 1 poin g mengharuskan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Pada faktanya ke dua pasal tersebut tidak dijalankan sebagai kewenangan yang diamanatkan undang-undang oleh Pemprov dan Pemkab di Karawang Selatan, sehingga masyarakatnya diabaikan dan tidak diperhatikan.
UU No.4 Tahun 2009 Pasal 11
mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk melakukan penyelidikan dan
penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan WP. Wilayah pertambangan
tidak bisa ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
jika penyelidikan dan penelitian untuk pertambangan belum dilaksanakan
di Karawang Selatan. Bahkan pada Pasal 10 poin c diharuskan
memperhatikan aspirasi daerah, maka jika ada kepentingan nasional yang
dipaksakan di Karawang Selatan bisa dimentahkan oleh aspirasi dari
masyarakat sekitar dan pemerintah daerah jika dinilai tidak
menguntungkan serta daya dukung dan daya tampung lingkungannya sudah
melampaui batas.
Karawang Selatan selalu
digembar-gemborkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan tugas
Pemkab untuk penetapannya sebagai WPR. Namun kriteria WPR dalam Pasal 22
pada beberapa poin-nya tidak bisa dipenuhi untuk Karst Pangkalan maupun
Pegunungan Sanggabuana, karena posisi pertambangan ini tidak di sungai,
diantara tepian maupun tepi sungai juga bukan endapan teras, endapan
banjir dan endapan sungai purba. Luas pertambangan pun sudah melampaui
25 Ha sebagai luas maksimal dari WPR, dan pelaksanaan proses
eksploitasinya pun sudah bukan bentuk dari pertambangan rakyat karena
telah menggunakan peralatan modern. IUP (Izin Usaha Pertambangan) jika
berada dalam satu wilayah kabupaten/kota dapat dikeluarkan oleh
Bupati/Wali Kota yang termaktub dalam Pasal 37. Namun dalam kenyataannya
pemegang IUP harus membayar iuran produksi seperti yang dijelaskan
Pasal 45, dan lagi-lagi kenyataannya Perda Karawang tentang retribusi
pertambangan belum ada atau belum diterbitkan kembali. Maka setiap IUP
eksplorasi di Karawang atau penggalian bahan tambang tidak bisa
dilegalkan karena menabrak peraturan yang termaktub dalam UU No.4 Tahun
2009.
Pendistribusian atau penadahan bahan
tambang yang dilakukan PT.Jui Shin Indonesia yang berlokasi di
Kec.Bojongmangu Kab.Bekasi dari pertambangan batuan gamping yang ada di
Kec.Pangkalan Kab.Karawang haruslah memiliki izin dari pemerintah
provinsi sesuai dengan Pasal 48 poin b. Pasal 64 dan 65 menjelaskan
mekanisme terbitnya WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) dengan
berbagai persyaratan yang harus dilaksanakan oleh pelaku kegiatan usaha
pertambangan. IPR atau Izin Pertambangan Rakyat pada Pasal 67 banyak
menjelaskan tentang mekanisme penerbitan IPR yang dilakukan oleh
Bupati/Wali Kota ataupun bisa diamanatkan penerbitannya kepada Camat
setelah melayangkan surat permohonan izin kepada Bupati/Wali Kota. Pasal
68 Ayat 1 membahas tentang luasan wilayah untuk satu IPR, jika kepada
perorangan maka hanya diperbolehkan 1 Ha, kelompok masyarakat hanya 5 Ha
dan kepada koperasi diberikan paling banyak 10 Ha. Dalam menunjang
persiapan WP, Menteri atau Gubernur melalui kewenangannya dapat
menugaskan lembaga riset untuk melakukan penyelidikan dan penelitian
tentang pertambangan sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Pasal 87.
Lagi-lagi Pasal 92 menegaskan tentang iuran eksplorasi dan iuran
produksi jika pemegang IUP hendak memiliki mineral yang telah diproduksi
dan lagi-lagi faktanya Karawang belum menerbitkan Perda terkait
retribusi pertambangan.
Pemegang IUP berkewajiban menjaga
kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan seperti apa yang disampaikan Pasal 98. Maka
telah banyak pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh pemegang IUP di
Karawang Selatan sesuai dengan yang disampaikan oleh Pasal 98. Lalu
kenapa pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten seperti
menutup mata dan telinga dari tragedi lingkungan hidup yang luar biasa
di Karawang Selatan. Dimana keberadaan negara ketika masyarakatnya
membutuhkan lingkungan yang dapat menunjang dasar-dasar kehidupan untuk
hidup? Padahal jelas sekali apa yang disampaikan oleh
peraturan-peraturan di negara ini tentang pentingnya lingkungan hidup
sebagai hak dasar masyarakat. Bahkan PT.Jui Shin Indonesia telah
melanggar dengan nyata apa yang disampaikan oleh Pasal 104 Ayat 3. Yaitu
“Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak
memiliki IUP, IPR, atau IUPK”. Pasal 119 memberikan kewenangan
kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Wali Kota untuk mencabut IUP jika
tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan atau melakukan tindak pidana
seperti yang tercantum dalam UU No.4 Tahun 2009.
PP No.22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan pada Pasal 1 Ayat 8 menjelaskan “Wilayah
Pertambangan yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki
potensi mineral dan/atau batu bara dan tidak terikat dengan batasan
administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang
nasional”. Kemudian pada Pasal 7 mengamanatkan kepada Menteri,
Gubernur, dan Bupati/Wali Kota berkordinasi melakukan penelitian dan
penyelidikan untuk inventarisasi pertambangan sesuai dengan
kewenangannya masing-masing. Maka Pemkab Karawang memiliki kewenangan
untuk melakukan penelitian dan penyelidikan dalam penyiapan
inventarisasi pertambangan sebelum ditetapkannya WP di wilayahnya, jadi
WP yang ada di tingkat nasional dan provinsi hanya menjadi rujukan
semata.
Lebih ditegaskan lagi tentang mekanisme penetapan WP ada pada Pasal 15 dan pada Ayat 3-nya dijelaskan “Gubernur
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan
perubahan WP kepada Menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan
penelitian”. Sudah sangat jelas bahwa pemerintah daerah mampu
mengusulkan perubahan WP yang telah ditetapkan secara nasional
berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian sesuai dengan
kewenangannya. Pasal 16 PP No.22 Tahun 2010 pada Ayat 7 mengamanatkan
kepada Menteri untuk berkordinasi dengan Gubernur dan Bupati/Wali Kota
setempat, Ayat 8 mengamanatkan kepada Gubernur untuk berkordinasi dengan
Menteri dan Bupati/Wali Kota setempat, dan Ayat 9 mengamantkan kepada
Bupati/Wali Kota untuk berkordinasi dengan Menteri dan Gubernur jika
akan melakukan eksplorasi. Adakah kordinasi yang di amanatkan Pasal 16
dengan 3 ayat tersebut pada seluruh eksplorasi yang sekarang tengah
berlangsung di Karawang Selatan?
WUP atau Wilayah Usaha Pertambangan
merupakan bagian dari WP yang sudah memiliki data, potensi dan informasi
geologi. Penetapan WUP dilakukan oleh Menteri sesuai dengan amanat
Pasal 19 Ayat 1 PP No.22 Tahun 2010. Dan dalam Pasal 35 Ayat 2
dijelaskan bahwa delineasi zonasi pada kawasan lindung untuk WIUP harus
berdasarkan kajian kelayakan dan memperhatikan keseimbangan antara biaya
dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi kawasan
lindung. “Keseimbangan antara biaya dan manfaat dan antara resiko
dan manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memperhitungkan paling sedikit mengenai reklamasi, pascatambang,
teknologi, program pengembangan masyarakat yang berkelanjutan, dan
pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan” penjelasan lebih lanjut dalam Ayat 3-nya.
PP No.23 Tahun 2010 pada Pasal 2 Ayat 2
komoditas pertambangan di Karawang Selatan sesuai pasal dan ayat
tersebut masuk kedalam golongan mineral bukan logam (Karst Pangkalan)
dan batuan (Pegunungan Sanggabuana). Pasal 3 Ayat 4 hanya memberikan
kewenangan kepada Bupati/Wali Kota dalam penetapan WPR (Wilayah
Pertambangan Rakyat). Sementara untuk WIUP yang berada didalam WUP
ditetapkan oleh Menteri seperti apa yang ditegaskan oleh Pasal 3 Ayat
3-nya. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan ini memuat banyak mekanisme tentang proses permohonan,
pengajuan sampai penetapan WUP, WIUP dan IUP kepada pengusaha
pertambangan. Salah satu yang disoroti adalah tentang mekanisme IPR atau
Izin Pertambangan Rakyat. Pada Pasal 47 beserta 3 ayatnya dijelaskan
tentang kewenangan Bupati/Wali Kota yang dapat memberikan IPR kepada
penduduk setempat setelah WPR ditetapkan oleh Bupati/Wali Kota dan dalam
satu WPR bisa untuk satu IPR atau beberapa IPR. Kemudian Pasal 48 Ayat 1
menyatakan “Setiap usaha pertambangan rakyat pada WPR dapat dilaksanakan apabila telah mendapatkan IPR”.
Mekanisme IPR dalam proses produksi
tambang dijelaskan lebih detail dalam Pasal 48 Ayat 4 pada PP No.23
Tahun 2010 ini. Yaitu, sumuran pada IPR paling dalam adalah 25 meter,
boleh menggunakan mesin dengan ketentuan tenaga maksimal adalah 25
tenaga kuda untuk satu IPR dan dilarang menggunakan bahan peledak serta
alat berat. Maka pertambangan Karst Pangkalan Desa Tamansari Kec.
Pangkalan telah menabrak Pasal 48 Ayat 4 ini, juga pertambangan batu
andesit di Pegunungan Sanggabuana Desa Wargasetra Kec. Tegalwaru. Karena
pertambangan di dua tempat tersebut telah menggunakan bahan peledak dan
alat berat untuk melakukan pertambangannya, tapi mereka masih berdalih
sebagai penambang rakyat. PT. Jui Shin Indonesia dan PT. Atlasindo Utama
yang memiliki IUP haruslah menjamin pemberdayaan dan pengembangan
masyarakat di sekitar WIUP mereka, hal ini dijamin dalam Pasal 106 Ayat
4. Dan pada Ayat 5-nya disinggung masyarakat sekitar adalah masyarakat
yang berada di dekat WIUP dan terdampak langsung terhadap kegiatan
pertambangan serta tidak melihat batas administratif baik itu kecamatan
maupun kabupaten. Maka PT. Jui Shin Indonesia walaupun berada di Kab.
Bekasi, mereka mempunyai kewajiban untuk memberdayakan dan mengembangkan
masyarakat yang terdampak aktifitas pertambangan yang juga ada di Kab.
Karawang.
source : ktd
Tags : Pangkalan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Responses to “Peraturan Pertambangan Karawang Selatan”
Post a Comment